Kamis, 04 Agustus 2011

Kisah Dialog Rasulullah SAW Dengan Iblis

Diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal r.a. dari Ibn Abbas r.a., ia berkata :”Kami bersama Rasululah SAW berada di rumah seorang sahabat dari golongan Anshar dalam sebuah jamaah. Tiba-tiba, ada yang memanggil dari luar :”Wahai para penghuni rumah, apakah kalian mengizinkanku masuk, karena kalian membutuhkanku”.

Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat :”Apakah kalian tahu siapa yang menyeru itu?”. Para sahabat menjawab,”Tentu Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasulullah berkata :”Dia adalah Iblis yang terkutuk – semoga Allah senantiasa melaknatnya”.


Umar bin Khattab r.a. berkata :”Ya, Rasulullah , apakah engkau mengijinkanku untuk membunuhnya?”.

Nabi SAW berkata pelan :”Bersabarlah wahai Umar, apakah engkau tidak tahu bahwa dia termasuk mereka yang tertunda kematiannya sampai waktu yang ditentukan [hari kiyamat]?. Sekarang silakan bukakan pintu untuknya, karena ia sedang diperintahkan Allah SWT. Fahamilah apa yang dia ucapkan dan dengarkan apa yang akan dia sampaikan kepada kalian!”.

Ibnu Abbas berkata :”Maka dibukalah pintu, kemudian Iblis masuk ke tengah-tengah kami. Ternyata dia adalah seorang yang sudah tua bangka dan buta sebelah mata. Dagunya berjanggut sebanyak tujuh helai rambut yang panjangnya seperti rambut kuda, kedua kelopak matanya [masyquqatani] memanjang [terbelah ke-atas, tidak kesamping], kepalanya seperti kepala gajah yang sangat besar, gigi taringnya memanjang keluar seperti taring babi, kedua bibirnya seperti bibir macan / kerbau [tsur].

Dia berkata,”Assalamu ‘alaika ya Muhammad, assalamu ‘alaikum ya jamaa’atal-muslimin [salam untuk kalian semua wahai golongan muslimin]“.

Nabi SAW menjawab : ”Assamu lillah ya la’iin [Keselamatan hanya milik Allah SWT, wahai makhluq yang terlaknat. Aku telah mengetahui, engkau punya keperluan kepada kami. Apa keperluanmu wahai Iblis".

Iblis berkata : ”Wahai Muhammad, aku datang bukan karena keinginanku sendiri, tetapi aku datang karena terpaksa [diperintah] .”

Nabi SAW berkata : ”Apa yang membuatmu terpaksa harus datang kesini, wahai terlaknat?”.

Iblis berkata,”Aku didatangi oleh seorang malaikat utusan Tuhan Yang Maha Agung, ia berkata kepada-ku ‘Sesungguhnya Allah SWT menyuruhmu untuk datang kepada Muhammad SAW dalam keadaan hina dan bersahaja. Engkau harus memberitahu kepadanya bagaimana tipu muslihat, godaanmu dan rekayasamu terhadap Bani Adam, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Engkau harus menjawab dengan jujur apa saja yang ditanyakan kepa-damu’ . Allah SWT bersabda,”Demi kemulia-an dan keagungan-Ku, jika engkau berbohong sekali saja dan tidak berkata benar, niscaya Aku jadikan kamu debu yang dihempas oleh angin dan Aku puaskan musuhmu karena bencana yang menimpamu”. Wahai Muhammad, sekarang aku datang kepadamu sebagaimana aku diperintah. Tanyakanlah kepadaku apa yang kau inginkan. Jika aku tidak memuaskanmu tentang apa yang kamu tanyakan kepadaku, niscaya musuhku akan puas atas musibah yang terjadi padaku. Tiada beban yang lebih berat bagiku daripada leganya musuh-musuhku yang menimpa diriku”.

Rasulullah kemudian mulai bertanya :”Jika kamu jujur, beritahukanlah kepada-ku, siapakah orang yang paling kamu benci ?”.

Iblis menjawab :”Engkau, wahai Muhammad, engkau adalah makhluq Allah yang paling aku benci, dan kemudian orang-orang yang mengikuti agamamu”.

Rasulullah SAW :”Siapa lagi yang kamu benci?”.

Iblis :”Anak muda yang taqwa, yang menyerahkan jiwanya kepada Allah SWT”.

Rasulullah :”Lalu siapa lagi ?”.

Iblis :”Orang Alim dan Wara [menjaga diri dari syubhat] yang saya tahu, lagi penyabar”.

Rasulullah :”Lalu, siapa lagi ?”.

Iblis :”Orang yang terus menerus menjaga diri dalam keadaan suci dari kotoran”.

Rasulullah :”Lalu, siapa lagi ?”.

Iblis :”Orang miskin [fakir] yang sabar, yang tidak menceritakan kefakirannya kepada orang lain dan tidak mengadukan keluh-kesahnya”.

Rasulullah :”Bagaimana kamu tahu bahwa ia itu penyabar ?”.

Iblis :”Wahai Muhammad, jika ia mengadukan keluh kesahnya kepada makhluq sesamanya selama tiga hari, Tuhan tidak memasukkan dirinya ke dalam golongan orang-orang yang sabar”.

Rasulullah :”Lalu, siapa lagi ?”.

Iblis :”Orang kaya yang bersyukur”.

Rasulullah bertanya :”Bagaimana kamu tahu bahwa ia bersyukur ?”.

Iblis :”Jika aku melihatnya meng-ambil dari dan meletakkannya pada tempat yang halal”.

Rassulullah :”Bagaimana keadaanmu jika umatku mengerjakan shalat ?”.

Iblis :”Aku merasa panas dan gemetar”.

Rasulullah :”Kenapa, wahai terlaknat?”.

Iblis :”Sesungguhnya, jika seorang hamba bersujud kepada Allah sekali sujud saja, maka Allah mengangkat derajatnya satu tingkat”.

Rassulullah :”Jika mereka shaum ?”.

Iblis :”Saya terbelenggu sampai mereka berbuka puasa”.

Rasulullah :”Jika mereka menunaikan haji ?”.

Iblis :”Saya menjadi gila”.

Rasulullah :”Jika mereka membaca Al Qur’an ?’.

Iblis :’ Aku meleleh seperti timah meleleh di atas api”.

Rasulullah :”Jika mereka berzakat ?”.

Iblis :”Seakan-akan orang yang berzakat itu mengambil gergaji / kapak dan memotongku menjadi dua”.

Rasulullah :”Mengapa begitu, wahai Abu Murrah ?”.

Iblis :”Sesungguhnya ada empat manfaat dalam zakat itu. Pertama, Tuhan menurunkan berkah atas hartanya. Kedua, menjadikan orang yang bezakat disenangi makhluq-Nya yang lain. Ketiga, menjadikan zakatnya sebagai penghalang antara dirinya dengan api neraka. Ke-empat, dengan zakat, Tuhan mencegah bencana dan malapetaka agar tidak menimpanya”.

Rasulullah :”Apa pendapatmu tentang Abu Bakar?”.

Iblis :”Wahai Muhammad, pada zaman jahiliyah, dia tidak taat kepadaku, bagaimana mungkin dia akan mentaatiku pada masa Islam”.

Rasulullah :”Apa pendapatmu tentang Umar ?”.

Iblis :”Demi Tuhan, tiada aku ketemu dengannya kecuali aku lari darinya”.

Rasulullah :”Apa pendapatmu tentang Utsman ?”.

Iblis :”Aku malu dengan orang yang para malaikat saja malu kepadanya”.

Rasulullah :”Apa pendapatmu tentang Ali bin Abi Thalib ?”.

Iblis :”Andai saja aku dapat selamat darinya dan tidak pernah bertemu dengannya [menukar darinya kepala dengan kepala], dan kemudian ia meninggalkanku dan aku meninggalkannya, tetapi dia sama sekali tidak pernah melakukan hal itu”.

Rasulullah :”Segala puji hanya bagi Allah yang telah membahagiakan umatku dan menyengsarakanmu sampai hari kiamat”.

Iblis yang terlaknat berkata kepada Muhammad :”Hay-hata hay-hata [tidak mungkin- tidak mungkin]. Mana bisa umatmu bahagia sementara aku hidup dan tidak mati sampai hari kiamat. Bagaimana kamu senang dengan umatmu sementara aku masuk ke dalam diri mereka melalui aliran darah, daging, sedangkan mereka tidak melihatku. Demi Tuhan yang menciptakanku dan membuatku menunggu sampai hari mereka dibangkitkan. Akan aku sesatkan mereka semua, baik yang bodoh maupun yang pandai, yang buta-huruf dan yang melek-huruf. Yang kafir dan yang suka beribadah, kecuali hamba yang mukhlis [ikhlas]“.

Rasulullah :”Siapa yang mukhlis itu menurutmu ?”.

Iblis dengan panjang-lebar menjawab :”Apakah engkau tidak tahu, wahai Muhammad. Barangsiapa cinta dirham dan dinar, dia tidak termasuk orang ikhlas untuk Allah. Jika aku melihat orang tidak suka dirham dan dinar, tidak suka puji dan pujaan, aku tahu bahwa dia itu ikhlas karena Allah, maka aku tinggalkan ia. Sesungguhnya hamba yang mencintai harta, pujian dan hatinya tergantung pada nafsu [syahwat] dunia, dia lebih rakus dari orang yang saya jelaskan kepadamu.

Tak tahukah engkau, bahwa cinta harta termasuk salah satu dosa besar. Wahai Muhammad, tak tahukan engkau bahwa cinta kedudukan [riyasah] termasuk dosa besar. Dan bahwa sombong, juga termasuk dosa besar. Wahai Muhammad, tidak tahukan engkau, bahwa aku punya tujuh puluh ribu anak. Setiap anak dari mereka, punya tujuh puluh ribu syaithan. Diantara mereka telah aku tugaskan untuk menggoda golongan ulama, dan sebagian lagi menggoda anak muda, sebagian lagi menggoda orang-orang tua, dan sebagian lagi menggoda orang-orang lemah.

Adapun anak-anak muda, tidak ada perbedaan di antara kami dan mereka, sementara anak-anak kecilnya, mereka bermain apa saja yang mereka kehendaki bersamanya. Sebagian lagi telah aku tugaskan untuk menggoda orang-orang yang rajin beribadah, sebagian lagi untuk kaum yang menjauhi dunia [zuhud]. Setan masuk ke dalam dan keluar dari diri mereka, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain, dari satu pintu ke pintu yang lain, sampai mereka mempengaruhi manusia dengan satu sebab dari sebab-sebab yang banyak. Lalu syaithan mengambil keikhlasan dari mereka. Menjadikan mereka menyembah Allah tanpa rasa ikhlas, tetapi mereka tidak merasa. Apakah engkau tidak tahu, tentang Barshisha, sang pendeta yang beribadah secara ikhlas selama tujuh puluh tahun, hingga setiap orang yang sakit menjadi sehat berkat da’wahnya. Aku tidak meninggalkannya sampai dia dia berzina, membunuh, dan kafir [ingkar]. Dialah yang disebut oleh Allah dalam Qur’an dengan firmannya [dalam Surah Al Hasyr] :”

(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syaitan ketika mereka berkata pada manusia:”Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata:”Sesungguhn ya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam”. (QS. 59:16).

Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa kebohongan itu berasal dariku. Akulah orang yang pertama kali berbohong. Barangsiapa berbohong, dia adalah temanku, dan barangsiapa berbohong kepada Allah, dia adalah kekasihku. Apakah engkau tidak tahu, bahwa aku bersumpah kepada Adam dan Hawa,”Demi Allah aku adalah penasihat kamu berdua”. Maka, sumpah palsu merupakan kesenangan hatiku, ghibah, membicarakan kejelekan orang lain, dan namimah, meng-adu domba adalah buah kesukaanku, melihat yang jelek-jelek adalah kesukaan dan kesenanganku. Barangsiapa thalaq, bersumpah untuk cerai, dia mendekati perbuatan dosa, meskipun hanya sekali, dan meskipun ia benar. Barangsiapa membiasakan lisannya dengan ucapan cerai, istrinya menjadi haram baginya. Jika mereka masih memiliki keturunan sampai hari kiyamat, maka anak mereka semuanya adalah anak-anak hasil zina. Mereka masuk neraka hanya karena satu kata saja.

Wahai Muhammad, sesungguhnya diantara umatmu ada yang meng-akhirkan shalat barang satu dua jam. Setiap kali mau shalat, aku temani dia dan aku goda dia. Kemudian aku katakan kepadanya:”Masih ada waktu, sementara engkau sibuk”. Sehingga dia mengakhirkan shalatnya dan mengerjakannya tidak pada waktunya, maka Tuhan memukul wajahnya. Jika ia menang atasku, maka aku kirim satu syaithan yang membuatnya lupa waktu shalat. Jika ia menang atasku, aku tinggalkan dia sampai ketika mengerjakan shalat aku katakan kepadanya,’ Lihatlah kiri-kanan’, lalu ia menengok. Saat itu aku usap wajahnya dengan tanganku dan aku cium antara kedua matanya dan aku katakan kepadanya,’ Aku telah menyuruh apa yang tidak baik selamanya’. Dan engkau sendiri tahu wahai Muhammad, siapa yang sering menoleh dalam shalatnya, Allah akan memukul wajahnya.

Jika ia menang atasku dalam hal shalat, ketika shalat sendirian, aku perintahkan dia untuk tergesa-gesa. Maka ia ‘mencucuk’ shalat seperti ayam mematuk biji-bijian dengan tergesa-gesa. Jika ia menang atasku, maka ketika shalat berjamaah aku cambuk dia dengan ‘lijam’ [cambuk] lalu aku angkat kepalanya sebelum imam mengangkat kepalanya. Aku letakkan ia hingga mendahului imam. Kamu tahu bahwa siapa yang melakukan itu, batal-lah shalatnya dan Allah akan mengganti kepalanya dengan kepala keledai pada hari kiyamat nanti.

Jika ia masih menang atasku, aku perintahkan dia untuk mengacungkan jari-jarinya ketika shalat sehingga dia mensucikan aku ketika ia sholat. Jika ia masih menang, aku tiup hidungnya sampai dia menguap. Jika ia tidak menaruh tangan di mulutnya, syaithan masuk ke dalam perutnya dan dengan begitu ia bertambah rakus di dunia dan cinta dunia. Dia menjadi pendengar kami yang setia.

Bagaimana umatmu bahagia sementara aku menyuruh orang miskin untuk meninggalkan shalat. Aku katakan kepadanya,’ Shalat tidak wajib atasmu. Shalat hanya diwajibkan atas orang-orang yang mendapatkan ni’mat dari Allah’. Aku katakan kepada orang yang sakit :”Tinggalkanlah shalat, sebab ia tidak wajib atasmu. Shalat hanya wajib atas orang yang sehat, karena Allah berkata :”Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, ………

Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. (QS. 24:61) Tidak ada dosa bagi orang yang sakit. Jika kamu sembuh, kamu harus shalat yang diwajibkan”. Sampai dia mati dalam keadaan kafir. Jika dia mati dan meninggalkan shalat ketika sakit, dia bertemu Tuhan dan Tuhan marah kepadanya. Wahai Muhammad, jika aku bohong dan ngawur, maka mintalah kepada Tuhan untuk membuatku jadi pasir. Wahai Muhammad, bagaimana engkau bahagia melihat umatmu, sementara aku mengeluarkan seper-enam umatmu dari Islam.

Nabi berkata :”Wahai terlaknat, siapa teman dudukmu ?”.

Iblis :”Pemakan riba”.

Nabi :”Siapa teman kepercayaanmu [shadiq] ?”.

Iblis :”Pe-zina”.

Nabi :”Siapa teman tidurmu ?”.

Iblis :”Orang yang mabuk”.

Nabi :”Siapa tamumu ?”.

Iblis :”Pencuri”.

Nabi :”Siapa utusanmu ?”.

Iblis :”Tukang Sihir”.

Nabi :”Apa kesukaanmu ?”.

Iblis :”Orang yang bersumpah cerai”.

Nabi :”Siapa kekasihmu ?”.

Iblis :”Orang yang meninggalkan shalat Jum’at”.

Nabi :”Wahai terlaknat, siapa yang memotong punggungmu ?”.

Iblis :”Ringkikan kuda untuk berperang di jalan Allah”.

Nabi :”Apa yang melelehkan badanmu ?”.

Iblis :”Tobatnya orang yang bertaubat”.

Nabi :”Apa yang menggosongkan [membuat panas] hatimu ?”.

Iblis :”Istighfar yang banyak kepada Allah siang-malam.

Nabi :”Apa yang memuramkan wajahmu (membuat merasa malu dan hina)?”.

Iblis :”Zakat secara sembunyi-sembunyi”.

Nabi :”Apa yang membutakan matamu ?”.

Iblis :”Shalat diwaktu sahur [menjelang shubuh]”.

Nabi :”Apa yang memukul kepalamu ?”.

Iblis :”Memperbanyak shalat berjamaah”.

Nabi :”Siapa yang paling bisa membahagiakanmu ?”.

Iblis :”Orang yang sengaja meninggalkan shalat”.

Nabi :”siapa manusia yang paling sengsara [celaka] menurutmu?”.

Iblis :”Orang kikir / pelit”.

Nabi :”Siapa yang paling menyita pekerjaanmu [menyibukkanmu] ?”.

Iblis :”Majlis-majlis ulama”.

Nabi :”Bagaimana kamu makan ?”.

Iblis :”Dengan tangan kiriku dan dengan jari-jariku”.

Nabi :”Dimana kamu lindungkan anak-anakmu ketika panas ?”.

Iblis :”Dibalik kuku-kuku manusia”.

Nabi :”Berapa keperluanmu yang kau mintakan kepada Allah ?”.

Iblis :”Sepuluh perkara”.

Nabi :”Apa itu wahai terlaknat ?”.

Iblis :”Aku minta kepada-Nya untuk agar saya dapat berserikat dalam diri Bani Adam, dalam harta dan anak-anak mereka. Dia mengijinkanku berserikat dalam kelompok mereka. Itulah maksud firman Allah : Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka. (QS. 17:64)

Setiap harta yang tidak dikeluarkan zakatnya maka saya ikut memakannya. Saya juga ikut makan makanan yang bercampur riba dan haram serta segala harta yang tidak dimohonkan perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Setiap orang yang tidak memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan ketika bersetubuih dengan istrinya maka syaithan akan ikut bersetubuh. Akhirnya melahirkan anak yang mendengar dan taat kepadaku. Begitu pula orang yang naik kendaraan dengan maksud mencari penghasilan yang tidak dihalalkan, maka saya adalah temannya.

Itulah maksud firman Allah :”……. , dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki …… (QS. 17:64) . Saya memohon kepada-Nya agar saya punya rumah, maka rumahku adalah kamar-mandi. Saya memohon agar saya punya masjid, akhirnya pasar menjadi masjidku. Aku memohon agar saya punya al-Qur’an, maka syair adalah al-Qur’anku. Saya memohon agar punya adzan, maka terompet adalah panggilan adzanku. Saya memohon agar saya punya tempat tidur, maka orang-orang mabuk adalah tempat tidurku. Saya memohon agar saya punya teman-teman yang menolongku, maka maka kelompok al-Qadariyyah menjadi teman-teman yang membantuku. Dan saya memohon agar saya memiliki teman-teman dekat, maka orang-orang yang menginfaq-kan harta kekayaannya untuk kemaksiyatan adalah teman dekat-ku. Ia kemudian membaca ayat : Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. (QS. 17:27)

Rasulullah berkata :”Andaikata tidak setiap apa yang engkau ucapkan didukung oleh ayat-ayat dari Kitabullah tentu aku tidak akan membenarkanmu”.

Lalu Iblis meneruskan :”Wahai Muhammad, saya memohon kepada Allah agar saya bisa melihat anak-cucu Adam sementara mereka tidak dapat melihatku. Kemudian Allah menjadikan aku dapat mengalir melalui peredaran darah mereka. Diriku dapat berjalan kemanapun sesuai dengan kemauanku dan dengan cara bagaimanapun. Kalau saya mau, dalam sesaatpun bisa. Kemudian Allah berfirman kepadaku:”Engkau dapat melakukan apa saja yang kau minta”. Akhirnya saya merasa senang dan bangga sampai hari kiamat . Sesungguhnya orang yang mengikutiku lebih banyak daripada yang mengikutimu. Sebagian besar anak-cucu Adam akan mengikutiku sampai hari kiamat.

Saya memiliki anak yang saya beri nama Atamah. Ia akan kencing di telinga seorang hamba ketika ia tidur meninggalkan shalat Isya. Andaikata tidak karenanya tentu ia tidak akan tidur lebih dahulu sebelum menjalankan shalat. Saya juga punya anak yang saya beri nama Mutaqadhi. Apabila ada seorang hamba melakukan ketaatan ibadah dengan rahasia dan ingin menutupinya, maka anak saya tersebut senantiasa membatalkannya dan dipamer-kan ditengah-tengah manusia sehingga semua manusia tahu. Akhirnya Allah membatalkan sembilan puluh sembilan dari seratus pahala-Nya sehingga yang tersisa hanya satu pahala, sebab, setiap ketaatan yang dilakukan secara rahasia akan diberi seratus pahala. Saya punya anak lagi yang bernama Kuhyal. Ia bertugas mengusapi celak mata semua orang yang sedang ada di majlis pengajian dan ketika khatib sedang memberikan khutbah, sehingga, mereka terkantuk dan akhirnya tidur, tidak dapat mendengarkan apa yang dibicarakan para ulama. Bagi mereka yang tertidur tidak akan ditulis pahala sedikitpun untuk selamanya.

Setiap kali ada perempuan keluar pasti ada syaithan yang duduk di pinggulnya, ada pula yang duduk di daging yang mengelilingi kukunya. Dimana mereka akan menghiasi kepada orang-orang yang melihatnya. Kedua syaithan itu kemudian berkata kepadanya, ‘ keluarkan tanganmu’. Akhirnya ia mengeluarkan tangannya, kemudian kukunya tampak, lalu kelihatan nodanya.

Wahai Muhammad, sebenarnya saya tidak dapat menyesatkan sedikitpun, akan tetapi saya hanya akan mengganggu dan menghiasi. Andaikata saya memiliki hak dan kemampuan untuk menyesatkan, tentu saya tidak akan membiarkan segelintir manusia-pun di muka bumi ini yang masih sempat mengucapkan”Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya”, dan tidak akan ada lagi orang yang shalat dan berpuasa. Sebagaimana engkau wahai Muhammad, tidak berhak memberikan hidayat sedikitpun kepada siapa saja, akan tetapi engkau adalah seorang utusan dan penyampai amanah dari Tuhan. Andaikata engkau memiliki hak dan kemampuan untuk memberi hidayah, tentu engkau tidak akan membiarkan segelintir orang-pun kafir di muka bumi ini. Engkau hanyalah sebagai hujjah [argumentasi] Tuhan terhadap makhluq-Nya. Sementara saya adalah hanyalah menjadi sebab celakanya orang yang sebelumnya sudah dicap oleh Allah menjadi orang celaka. Orang yang bahagia dan beruntung adalah orang yang dijadikan bahagia oleh Allah sejak dalam perut ibunya, sedangkan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan celaka oleh Allah sejak dalam perut ibunya.

Kemudian Rasulullah SAW membacakan firman dalam QS Hud : Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, (QS. 11:118) kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan; sesungguh-nya Aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. 11:119) dilanjutkan dengan : Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku, (QS. 33:38)”.

Kemudian Rasulullah berkata lagi kepada Iblis :”Wahai Abu Murrah [Iblis], apakah engkau masih mungkin bertaubat dan kembali kepada Allah, sementara saya akan menjamin-mu masuk surga”.

Ia iblis menjawab :”Wahai Rasulullah, ketentuan telah memutuskan dan Qalam-pun telah kering dengan apa yang terjadi seperti ini hingga hari kiamat nanti. Maka Maha Suci Tuhan, yang telah menjadikanmu sebagai tuan para Nabi dan Khatib para penduduk surga. Dia, telah memilih dan meng-khususkan dirimu. Sementara Dia telah menjadikan saya sebagai tuan orang-orang yang celaka dan khatib para penduduk neraka. Saya adalah makhluq celaka lagi terusir. Ini adalah akhir dari apa yang saya beritahukan kepadamu dan saya mengatakan yang sejujurnya”.

Segala puji hanya milik Allah SWT , Tuhan Semesta Alam, awal dan akhir, dzahir dan bathin. Semoga shalawat dan salam sejahtera tetap selalu diberikan kepada seorang Nabi yang Ummi dan kepada para keluarga dan sahabatnya serta para Utusan dan Para Nabi.

Hikmah dari Kisah tersebut di atas Sebagai upaya mencari hikmah dalah kisah di atas, rangkuman ini barangkali berguna untuk direnungkan :

Kita perlu semakin menancapkan keyakinan, bahwa syaithan tidak punya kuasa sedikitpun bagi orang-orang yang disucikan-Nya.
Jadi upaya kita adalah memohon kepada Allah Ta’Ala agar Dia ridho dan berkenan membersihkan segala dosa baik sengaja maupun tidak untuk mendapatkan ampunan-Nya.
Bila kita simak, perbedaan mendasar keyakinan Iblis adalah tidak ada keinginannya untuk bertaubat, walau Rasulullah SAW telah menghimbaunya bahkan dengan menawarkan jaminan untuk mendapatkan ampunan. Dengan tegas Allah berfirman : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar. (QS. 20:82).
Bila kita cermati hadangan dan rintangan yang akan dilakukan oleh Iblis dari kisah tersebut membuat kesadaran bahwa upaya untuk menjalani kehidupan sungguh tidak mudah.
Hanya karena Maha Rahman dan Maha Rakhiim-Nya sajalah kita akan selamat dalam menjalani kehidupan ini hingga akan selamat dari jebakan-jebakan syaithan.

Source -I : Bab-II POHON SEMESTA / Pustaka Progressif / Cetakan-I/Oktober 1999. Dari Kitab Sajaratul Kaun oleh Muhyiddin Ibnu Arabi / Darul ‘Ilmi al-Munawar asy-Syamsiyah, Madinah. Translated by : Nur Mufid, Nur Fu’ad.

Source-II : Dari Judul Asli : Syajaratul Kaun dan Hikayah Iblis. Risalah Muhyiddin Ibnu al-’Arabi [Mesir : Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1360/1941 ] Translated By : Wasmukan, Risalah Gusti / Cetakan-II, Mei 2001
Selengkapnya...

Tubuh Seharum Kesturi

DALAM KITAB Al Akhlaq Al Islamiyyah Lin Nasyi’in ada sebuah kisah yang indah menggetarkan jiwa. Kisah ini terjadi di tanah Syam. Kisah yang banyak disebut dari mulut ke mulut sampai abad ini.

Ini adalah kisah ketakwaan seorang pemuda. Seorang pemuda yang bekerja sebagai penjual kain keliling. Ia berkeliling dari satu daerah ke daerah. Dari satu kawasan ke kawasan lain. Dari lorong ke lorong. Dari rumah ke rumah. Ia berkeliling sambil memanggul kain dagangannya. Akhirnya masyarakat mengenalnya sebagai Si Penjual Kain Keliling.


Diantara kelebihan pemuda ini adalah postur tubuhnya yang gagah. Kulitnya yang putih. Wajahnya yang mempesona. Dan keramahannya yang luar biasa. Sehingga siapapun yang melihatnya akan terpesona karenanya. Itulah karunia Allah yang dianugerahkan kepadanya.

Suatu hari, ketika ia sedang berkeliling menjajakan dagangannya, tiba-tiba ada seorang wanita memanggilnya. Ia pun segera menghampiri. Wanita ini menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Rumah itu sangat mewah. Agaknya wanita itu termasuk golongan bangsawan. Begitu masuk rumah, dengan sebuah kelihaian wanita itu bisa mengunci pintu. Wanita itu sangat terpesona dengan ketampanannya. Wanita itu telah lama tergila-gila padanya. Sudah berkali-kali diam-diam wanita itu memandangi ketampanannya ketika pemuda itu lewat di depan rumahnya.

Wanita itu berkata, “Duhai pemuda tampan. Sebenarnya aku memanggilmu tidak untuk membeli barang daganganmu, tapi semata karena aku sangat mencintaimu. Selama ini aku tergila-gila pada ketampananmu.”

Pada saat itu, tak ada seorang pun didalam rumah selain mereka berdua. Wanita bangsawan itu dengan penuh harap merayunya untuk berzina. Sang pemuda pun mengingatkannya dan menakutinya akan pedihnya siksa Allah. Namun, semua usahanya sia-sia belaka. Setiap perkataan yang diucapkan pemuda itu justru membuat wanita itu semakin menggila dan nekat. Wanita itu justru semakin tertantang untuk menaklukkan pemuda itu. Namun pemuda itu tak bergeming dengan keimanannya. Ia menolak dengan tegas.

Karena sang pemuda tetap saja menolak, wanita itu mengancam, “Jika kamu tidak menurut apa yang kuperintahkan, aku akan berteriak sekeras-kerasnya dan mengatakan kepada orang-orang bahwa ada orang yang masuk kerumahku dan ingin memperkosaku. Mereka pasti mempercayai ucapanku karena kedudukanku dan karena kamu telah memasuki rumahku. Akibatnya kamu akan binasa. Kau akan dianggap penjahat paling nista. Dan orang-orang itu bisa marah dan menggantungmu hidup-hidup ! “

Wanita itu mengancam dengan serius. Pemuda itu terus berfikir bagaimana mencari jalan keluar. Ia tak mau maksiat tapi juga tak mau mengalami hal yang konyol. Diserapahi orang banyak sebagai penjahat lalu digantung tanpa ampun, sungguh hal yang sangat menyakitkan. Beberapa detik kemudian sekonyong-konyong terbitlah ide nekatnya. Terkadang tindakan nekat harus dilawan dengan nekat juga. Sambil tersenyum ia berkata, “Baiklah. Bolehkah aku ke kamar mandi untuk bersih-bersih dahulu ? Lihatlah tubuhku penuh dengan peluh yang baunya tidak sedap ! “

Begitu mendengar ucapannya, wanita tersebut sangat gembira karena mengira ia akan menuruti keinginannya dan berkata dengan hati meluapkan kegembiraan, “O tentu saja boleh, aduhai kekasihku dan belahan jiwaku. Sungguh ini adalah kesempatan luar biasa.”

Sang pemuda pun segera masuk ke kamar mandi, ia mengatakan itu tadi sekedar untuk menyelamatkan diri sesaat. Mencari tempat yang tenang untuk berfikir. Sampai di dalam kamar mandi tubuhnya gemetar karena takut terjatuh pada kemaksiatan. Wanita adalah perangkap setan. Tak ada seorang laki-laki dan wanita yang berduaan, kecuali ada yang ketiga adalah setan. Demikianlah sabda Rasulullah Saw.

Ia pasrah kepada Allah. Ya Allah, apa yang mesti aku lakukan ? Berilah hamba-Mu petunjuk ya Allah. Tiba-tiba tercetus sesuatu dalam fikirannya, ia bergumam, “Aku tahu pasti, diantara golongan yang akan mendapatkan naungan pada hari tidak ada naungan lagi di hari kiamat adalah seorang pemuda yang diajak berzina oleh seorang wanita cantik dan berkedudukan, lalu ia mengatakan, ‘Sungguh aku takut pada Allah !’ Aku juga tahu bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena takut pada Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Tidak sedikit orang yang menurutkan hawa nafsunya, maka ia akan membawa penyesalan sampai akhir hayatnya. Jika aku lakukan kemaksiatan ini, Allah akan menghilangkan cahaya dan kenikmatan dari hatiku. Duhai Tuhan, tidak, tidak ! Sekali-kali aku tidak akan melakukannya ! Tapi apa yang bisa aku perbuat ? Apakah aku harus loncat dari jendela ? hal itu tidaklah mungkin karena jendela ini terkunci sangat kuat dan sulit sekali membukanya. Kalau begitu aku harus melumuri tubuhku dengan kotoran. Ya aku harus melumuri tubuhku dengan kotoran. Semoga jika ia melihatku seperti itu, ia akan merasa jijik lalu mengusirku.”

Benar saja, ia lalu buang air besar dan melumuri seluruh tubuhnya dengan kotoran buang air besarnya. Seluruh rambutnya, mukanya, dada, tangan, dan semuanya. Ia sendiri sebenarnya merasa jijik. Bahkan ia mual dan sempat muntah. Sambil menangis ia berkata, “Ya Allah ya Rabbi, karena rasa takutku pada-Mulah aku melakukan ini ! maka gantikanlah untukku yang lebih baik.”

Lalu iapun keluar dari kamar mandi. Dan begitu wanita tersebut melihatnya ia terkejut bukan main. Ia merasa jijik. Ia menjerit dan berteriak dengan keras, “Keluarlah, hai orang gila ! Dasar pemuda gila, keluar kau jangan kau kotori rumahku.”

Ia berjalan keluar dan berpura-pura bertingkah laku seperti orang gila. Begitu sampai diluar ia cepat-cepat cari tempat yang aman. Ia takut dilihat orang dan takut mereka akan menggunjingnya. Jika itu yang terjadi barang dagangannya bisa tidak laku, karena ia akan dianggap benar-benar gila. Beberapa orang yang melihatnya terheran-heran dan menertawakannya. Ia terus berjalan menuju rumahnya lewat jalan yang sepi. Ia merasa sangat lega ketika sampai dirumahnya. Ia langsung melepas pakaiannya dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya.

Ketika ia keluar dari kamar mandi, Allah SWT menunjukkan kekuasan-Nya. Allah menjadikan bau harum yang luar biasa memancar dari seluruh pori-pori tubuhnya hingga ajal menjemputnya. Bau itu tercium dari jarak beberapa meter. Akhirnya ia dikenal dengan sebutan “Al-Miski” atau Orang Yang Seharum Kesturi.

Kisah ini menjadi bukti keagungan Allah. Kisah nyata ini masih bisa dilihat bekasnya. Di tanah Syam, ada sebuah makam yang tertuliskan “Al-Miski”.

Itulah kubur orang mulia yang menjaga kesuciannya ini.

***

Sumber Tulisan Oleh : Habiburrahman El Shirazy

(Di Atas Sajadah Cinta, Penerbit Republika, Cetakan X, September 2006)
Selengkapnya...

Wanita Pertama Yang Masuk Surga

Dan siapakah nama wanita itu? Dia adalah Muti’ah.

Kaget? Sama seperti Siti Fatimah ketika itu, yang mengira dirinyalah yang pertama kali masuk surga.

Siapakah Muti’ah? Karena rasa penasaran yang tinggi, Siti Fatimah pun mencari seorang wanita yang bernama Muti’ah ketika itu. Beliau juga ingin tahu, amal apakah yang bisa membuat wanita itu bisa masuk surga pertama kali? Setelah bertanya-tanya, akhirnya Siti Fatimah mengetahui rumah seorang wanita yang bernama Muti’ah. Kali ini ia ingin bersilaturahmi ke rumah wanita tersebut, ingin melihat lebih dekat kehidupannya. Waktu itu, Siti Fatimah berkunjung bersama dengan anaknya yang masih kecil, Hasan. Setelah mengetuk pintu, terjadilah dialog.


“Di luar, siapa?” kata Muti’ah tidak membukakan pintu.

“Saya Fatimah, putri Rasulullah”

“Oh, iya. Ada keperluan apa?”

“Saya hanya berkunjung saja”

“Anda seorang diri atau bersama dengan lainnya?”

“Saya bersama dengan anak saya, Hasan?”

“Maaf, Fatimah. Saya belum mendapatkan izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki”

“Tetapi Hasan masih anak-anak”

“Walaupun anak-anak, dia lelaki juga kan? Maaf ya. Kembalilah besok, saya akan meminta izin dulu kepada suami saya”

“Baiklah” kata Fatimah dengan nada kecewa. Setelah mengucapkan salam, ia pun pergi.

Keesokan harinya, Siti Fatimah kembali berkunjung ke rumah Muti’ah. Selain mengajak Hasan, ternyata Husein (saudara kembar Hasan) merengek meminta ikut juga. Akhirnya mereka bertiga pun berkunjung juga ke rumah Muti’ah. Terjadilah dialog seperti hari kemarin.

“Suami saya sudah memberi izin bagi Hasan”

“Tetapi maaf, Muti’ah. Husein ternyata merengek meminta ikut. Jadi saya ajak juga!”

“Dia perempuan?”

“Bukan, dia lelaki”

“Wah, saya belum memintakan izin bagi Husein.”

“Tetapi dia juga masih anak-anak”

“Walaupun anak-anak, dia juga lelaki. Maaf ya. Kembalilah esok!”

“Baiklah” Kembali Siti Fatimah kecewa.

Namun rasa penasarannya demikian besar untuk mengetahui, rahasia apakah yang menyebabkan wanita yang akan dikunjunginya tersebut diperkanankan masuk surga pertama kali. Akhirnya hari esok pun tiba. Siti Fatimah dan kedua putranya kembali mengunjungi kediaman Mutiah. Karena semuanya telah diberi izin oleh suaminya, akhirnya mereka pun diperkenankan berkunjung ke rumahnya. Betapa senangnya Siti Fatimah karena inilah kesempatan bagi dirinya untuk menguak misteri wanita tersebut.

Menurut Siti Fatimah, wanita yang bernama Muti’ah sama juga seperti dirinya dan umumnya wanita. Ia melakukan shalat dan lainnya. Hampir tidak ada yang istimewa. Namun, Siti Fatimah masih penasaran juga. Hingga akhirnya ketika telah lama waktu berbincang, “rahasia” wanita itu tidak terkuak juga. Akhirnya, Muti’ah pun memberanikan diri untuk memohon izin karena ada keperluan yang harus dilakukannya.

“Maaf Fatimah, saya harus ke ladang!”

“Ada keperluan apa?”

“Saya harus mengantarkan makanan ini kepada suami saya”

“Oh, begitu”

Tidak ada yang salah dengan makanan yang dibawa Muti’ah yang disebut-sebut sebagai makanan untuk suaminya. Namun yang tidak habis pikir, ternyata Muti’ah juga membawa sebuah cambuk.

“Untuk apa cambuk ini, Muti’ah?” kata Fatimah penasaran.

“Oh, ini. Ini adalah kebiasaanku semenjak dulu”

Fatimah benar-benar penasaran. “Ceritakanlah padaku!”

“Begini, setiap hari suamiku pergi ke ladang untuk bercocok tanam. Setiap hari pula aku mengantarkan makanan untuknya. Namun disertai sebuah cambuk. Aku menanyakan apakah makanan yang aku buat ini enak atau tidak, apakah suaminya seneng atau tidak. Jika ada yang tidak enak, maka aku ikhlaskan diriku agar suamiku mengambil cambuk tersebut kemudian mencambukku. Ini aku lakukan agar suamiku ridlo dengan diriku. Dan tentu saja melihat tingkah lakuku ini, suamiku begitu tersentuh hatinya. Ia pun ridlo atas diriku. Dan aku pun ridlo atas dirinya”

“Masya Allah, hanya demi menyenangkan suami, engkau rela melakukan hal ini, Muti’ah?”

“Saya hanya memerlukan keridloannya. Karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan sang suami ridlo kepada istrinya”

“Ya… ternyata inilah rahasia itu”

“Rahasia apa ya Fatimah?” Mutiah juga penasaran.

“Rasulullah Saw mengatakan bahwa dirimu adalah wanita yang diperkenankan masuk surga pertama kali. Ternyata semua gara-gara baktimu yang tinggi kepada seorang suami yang sholeh.”

Subhanallah.

***

Sumber: Kaskus.us
Selengkapnya...

Kenapa Agak Lama Membujang

Syaikh Muhammad al-Munqadir terkenal akan kehidupan membujangnya yang sangat lama. Bukan apa-apa, ia sangat miskin. Ia tidak memiliki harta untuk membayar mahar pernikahannya. Bayangkan, ia hanya memiliki pakaian yang melekat di badannya dan sebuah tempat tidur yang usang. Tetapi, ia ridha dan menjalaninya sebagai ujian dari Allah SWT.

“Terima kasih, ya Allah. Aku masih selalu diberi kesehatan yang membuatku bisa terus-menerus beribadah dan bermunajat kepada-Mu,” {doa Syeh Muhammad al-Munqadir suatu hari.}


Hamba Allah yang masih mempunyai kekerabatan dengan Abu bakar ash-Shiddiq ini adalah orang yang sangat dekat dengan Allah SWT. Tapi, tampaknya tak seorang pun yang tahu bagaimana gerangan kedekatan lelaki tersebut. Suatu hari, karena kelaparan yang sangat, ia datang ke rumah Aisyah binti Abu Bakar. Ia berharap Aisyah dapat memberinya sedikit makanan untuk mengganjal perutnya yang sudah meronta-ronta. Namun, alangkah sedihnya beliau ketika Aisyah mengatakan bahwa ia pun tidak mempunyai apapun untuk diberikan.

“Wahai Muhammad, aku pun hidup di dalam keadaan serba kekurangan. Andaikata aku mempunyai uang 10.000 dinar sekarang, niscaya akan kuberikan kepadamu,” ujar Aisyah.

Dengan lunglai Muhammad al-Munqadir pun pergi. Ia mafhum bahwa Aisyah pun hidup tidak lebih sulit daripadanya. Atas takdir Allah SWT, tiba-tiba datang utusan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan kepada Aisyah. Ia membawa 10.000 dinar titipan Khalifah dan menyerahkannya kepada Aisyah sebagai hadiah. Aisyah terus-terang merasa takjub atas hal ini. “Alhamdulillah, alangkah cepatnya apa yang aku angan-angankan. Ini sudah dikabulkan Allah.”

Sebagaimana yang ia ucapkan tadi, Aisyah segera mengutus orang untuk mencari Muhammad al-Munqadir. Alangkah gembiranya Muhammad al-Munqadir ketika mendapat uang sebanyak itu. Tidak hanya cukup untuk mengganjal rasa laparnya, di kemudian hari, ia menggunakan pemberian Aisyah itu untuk menikahi seorang budak wanita yang dibelinya. Maka, berakhirlah kehidupan membujang Muhammad al-Munqadir yang sangat lama itu.

Oleh Allah SWT, mereka dikarunia tiga orang anak laki-laki. Ketiganya diberi nama Muhammad, Abu bakar dan Umar. Waktu pun berlalu, ketiga anak lelaki itu tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang sangat gagah berani dan tidak berbeda dengan ayahnya.

Pada suatu malam, Muhammad al-Munqadir mengurung dirinya di dalam bilik bersendirian. Tidak ada yang tahu apa gerangan yang dilakukannya saat itu. Keluarganya telah terbiasa melihat Muhammad seperti itu. Mereka mengira, paling Muhammad al-Munqadir menyendiri untuk beribadat, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Setelah beberapa lama, terdengar suara menangis dan sangat kuat dari dalam bilik itu. Tentu suara Muhammad al-Munqadir. Tetapi kenapa, dan apa yang menyebabkannya? Muhammad menangis sangat keras dan tanpa henti sehingga keluarganya merasa cemas. Akhirnya mereka memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Ketika masuk, tidak ada siapa-siapa lagi di tempat itu selain Muhammad al-Munqadir. Mereka bertanya kepadanya mengapa dia menangis. Tetapi, tidak ada jawaban. Malah tangisannya bertambah kuat sehingga mereka menyangka dia sedang mendapat suatu musibah.

Akhirnya mereka memanggil seorang sahabat yang bernama Abu Hazim. Setelah mendapat izin, maka Abu Hazim pun masuk dan bertanya, “Wahai Muhammad , apa yang menyebabkan engkau menangis?”

Alih-alih menjawab, tangis Muhammad semakin menjadi-jadi, walau suaranya sudah tidak terlalu keras. Abu Hazim sampai harus berkali-kali menanyainya dan berusaha menyabarkan dirinya sendiri. Akhirnya, mau juga Muhammad al-Munqadir menjawab. “Aku menangis karena takut setelah membaca ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “Dan telah nyata kepada mereka azab yang mereka tidak pernah pikirkan.”

Mendengar hal itu, Abu Hazim ikut menangis bersamanya sehingga mereka yang menunggu di luar menegur Abu Hazim mengapa pula dia yang menangis, padahal dia dipanggil untuk menenteramkan hati Muhammad al-Munqadir. Abu Hazim memberitahu mereka tentang sesuatu yang menyebabkan mereka menangis.

Menurut anak-anaknya beberapa tahun setelah itu, setiap kali membaca ayat-ayat Al-Qur’an, Muhammad al-Munqadir semakin sering menangis hingga kedua matanya buta. Menjelang hari kematiannya, wajah Muhammad al-Munqadir tampak gelisah. Ketika ditanya, “Mengapa kamu kelihatan gelisah?” Sekali lagi jawabannya tetap sama, “Aku takut pada ayat Al-Qur’an yang bunyinya, “Dan telah jelas nyata kepada mereka azab yang mereka tidak pernah pikirkan.” Sambungnya lagi, “Aku takut siksaan Allah yang tidak pernah aku perkirakan sebelumnya.”

Ketika ajalnya sudah hampir tiba, Muhammad al-Munqadir kelihatan tenang sehingga sahabatnya telah melihat wajah Muhammad ketika itu bersinar seperti bulan purnama. Muhammad al-Munqadir sempat berkata pada hadirin dengan suara yang tersekat-sekat, “Andai engkau dapat melihat tempatku seperti yang aku lihat sekarang, niscaya kamu akan senang dan tersenyum.” Kemudian dia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 131 hijriah.

*****

[diambil dari Kisah Para Sahabat]
Selengkapnya...

Rabu, 03 Agustus 2011

Buaya Perompak

Cerita dari Lampung

Buaya Perompak adalah seekor buaya jadi-jadian yang dulu pernah menghuni Sungai Tulang Bawang, Provinsi Lampung, Indonesia. Buaya jadi-jadian ini terkenal sangat ganas. Konon, sudah banyak manusia yang menjadi korban keganasan buaya itu. Pada suatu hari, seorang gadis rupawan yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang. Benarkah Buaya itu yang menculik Aminah? Lalu bagaimana dengan nasib Aminah selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Buaya Perompak berikut ini!


Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.

Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.

Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.

“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.

Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di dinding-dinding gua.

“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya Aminah dalam hati.

Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki menggema.

“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”

Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.

“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.

“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba.,” kata Buaya itu.

“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.

“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.

“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?” tanya Aminah.

“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.

Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.

“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.

“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang,” jawab Aminah.

“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah

“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.

“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah heran.

“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.

Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.

“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku,” jawab Aminah menolak.

Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan.

“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan memangsamu,” ancam Buaya itu.

Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman Buaya itu.

“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab Aminah setuju.

Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu.

Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.

Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.

Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.

Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu.

“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,” Aminah berucap syukur.

Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan.

“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya penduduk desa itu.

“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.

Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.

Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.

Demikian cerita Buaya Perompak dari darah Tulang Bawang, Lampung, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat tidak mudah putus asa dan keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain.

Pertama, keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Aminah yang tidak mudah putus asa menghadapi ancaman Buaya Perompak. Dengan kecerdikannya, ia pun berhasil mengelabui Buaya Perompak itu dan berhasil menyelamatkan diri. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat tidak mudah putus asa dapat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih.

Kedua, keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Somad (perompak) yang senantiasa merampas harta benda setiap penduduk yang melewati Sungai Tulang Bawang. Akibat perbuatan jahatnya tersebut, ia pun terkena kutukan menjadi seekor buaya. Dalam kehidupan orang Melayu, merampas hak milik orang lain merupakan perbuatan keji dan sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa merampas hak milik orang,
azabnya keras bukan kepalang

siapa mengambil hak milik orang,
Tuhan murka orang pun perang


(Samsuni/sas/110/11-08)
Selengkapnya...

Cindua Mato

Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Bundo Kanduang, yang konon diciptakan bersamaan dengan alam semesta ini (samo tajadi jo alamko). Dia adalah timpalan Raja Rum, Raja Tiongkok dan Raja dari Laut. Suatu hari Bundo Kanduang menyuruh Kembang Bendahari, seorang dayangnya yang setia, untuk membangunkan putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur di anjungan istana. Kembang Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah Raja Alam, orang yang sakti. Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri Dang Tuanku, dan berkata bahwa Bendahara sedang mengadakan gelanggang di nagarinya Sungai Tarab, untuk memilih suami buat putrinya. Karena gelanggang tersebut akan dikunjungi banyak pangeran, marah dan sutan, dan putra-putra orang-orang terpandang, Dang Tuanku dan Cindua Mato seharusnya ikut serta di dalamnya. Bundo Kanduang memerintahkan Dang Tuanku untuk menanyakan apakah Bendahara akan menerima Cindua Mato sebagai suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah menerima pengajaran tentang adat Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan para pengiringnya berangkat ke Sungai Tarab.


Di Sungai Tarab mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku bertanya apakah Bendahara bersedia menerima Cindua Mato yang “bodoh dan miskin” sebagai menantunya. Sebenarnya Cindua Mato adalah calon menantu ideal, dan karena itu lamaran tersebut diterima. Dang Tuanku kemudian berbincang-bincang dengan Bendahara, yang merupakan ahli adat di dalam Basa Ampek Balai, membahas adat Minangkabau dan apakah telah terjadi perubahan dari adat nenek moyang. Menurut Bendahara prinsip-prinsip yang diwariskan dari perumus adat Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang tetap tak berubah.

Sementara itu Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, Raja Sungai Ngiang, sebuah negeri di rantau timur Minangkabau. Menurut kabar itu, di sana tersebar berita bahwa Dang Tuanku diasingkan karena menderita penyakit. Puti Bungsu adalah putri Rajo Mudo, saudara Bundo Kanduang, yang memerintah sebagai wakil Pagaruyung di Ranah Sikalawi, tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan bahwa cerita ini disebarkan oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas mendesak Dang Tuanku untuk meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke Pagaruyung. Gunjingan seperti itu adalah hinaan kepada Raja Alam.

Di Pagaruyung Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo Kanduang apa yang didengarnya di pasar. Bundo Kanduang naik pitam, namun sebelum bertindak dia mesti berunding dulu dengan Basa Ampek Balai. Dalam rapat-rapat berikutnya para menteri tersebut berusaha menengahi Bundo Kanduang pada satu pihak, yang tak dapat menerima hinaan dari saudaranya, dan Dang Tuanku beserta Cindua Mato pada pihak lain, yang menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut berakhir dengan kesepakatan bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan Bundo Kanduang dan Dang Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa Sibinuang, seekor kerbau sakti, sebagai mas kimpoi untuk Puti Bungsu.

Dengan menunggang kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau sakti, Si Binuang, Cindua Mato berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di perbatasan sebelah timur, di dekat Bukit Tambun Tulang, dia menemukan tengkorak-tengkorak berserakan. Setelah membacakan jampi-jampi, dan berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak tersebut mampu menceritakan kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para pedagang yang bepergian melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para penyamun. Mereka mendesak Cindua Mato untuk berbalik dan kembali, namun Cindua Mato menolak. Tak lama sesudahnya para penyamun menyerang, namun dengan bantuan Si Binuang, ia berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun tersebut mengaku bahwa Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, mempekerjakan mereka tak hanya buat memperkaya dirinya, tetapi juga untuk memutus hubungan antara Pagaruyung dan Rantau Timur, dan dengan demikian melempangkan rencananya untuk mengawini Puti Bungsu.

Kedatangan Cindua Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang berduka mendengar kabar penyakit Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato dianggap sebagai pertanda restu Bundo Kanduang atas perkimpoian yang hendak dilangsungkan.

Dengan berpura-pura kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat mata dengan Puti Bungsu tanpa memancing kecurigaan keluarga Rajo Mudo. Mereka percaya hanya Puti Bungsu saja yang mampu menenangkannya. Cindua Mato bertutur pada Puti Bungsu bahwa Dang Tuanku mengirimnya untuk membawanya ke Pagaruyung, karena ia sudah ditakdirkan untuk menikah dengan Dang Tuanku. Dalam pesta perkimpoian yang berlangsung, saat Imbang Jayo tengah berperan sebagai pengantin pria, Cindua Mato melakukan hal-hal ajaib yang menarik perhatian lain dan menculik Puti Bungsu. Cindua Mato membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi, anggota Basa Ampek Balai yang mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.

Dengan menculik Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum dan melampaui wewenangnya sebagai utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu memanggil anggota Basa Ampek Balai lainnya untuk membahas pelanggaran yang dilakukan Cindua Mato. Namun pada pertemuan yang diadakan Cindua Mato menolak menjelaskan perbuatannya.

Basa Ampek Balai lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang, yang murka pada kelakuan Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak menjawab. Keempat menteri ini lalu memutuskan berunding dengan Raja Nan Duo Selo, Raja Adat dan Raja Ibadat. Keduanya, mengetahui latar belakang kejadian tersebut, sambil tersenyum menyuruh keempat menteri tersebut menyerahkan keputusan kepada Dang Tuanku, Raja Alam.

Pada pertemuan berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang, yang berteguh mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang menganjurkan memeriksa alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang Jayo telah menghina Dang Tuanku dengan berusaha mengawini tunangannya, dan menceritakan fitnah. Sekarang giliran Imbang Jayo buat dihina. Imbang Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk memperkaya dirinya dan memutus hubungan antara Minangkabau dan rantau timurnya. Cindua Mato tak layak dihukum karena dia hanya alat untuk utang malu dibayar malu.

Cindua Mato dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian membahas perkimpoian antara Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara Dang Tuanku dan Puti Bungsu. Setelah masa persiapan, perkimpoian kerajaan tersebut dilangsungkan di Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta yang dihadiri oleh banyak pangeran dan raja dari segenap penjuru Pulau Perca.

Sementara itu, Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua Mato bersiap-siap menyerang Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin Terus (camin taruih), dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung. Cermin itu akhirnya dipecahkan oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika Imbang Jayo sibuk memperkuat pasukannya Bundo Kanduang dan Dang Tuanku meminta Cindua Mato mengungsi ke Inderapura, negeri di rantau Barat, dan dengan demikian tidak ada alasan lagi buat Imbang Jayo memerangi Pagaruyung.

Geram karena gagal membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes pada Rajo Nan Duo Selo. Pada pertemuan yang dipimpin oleh kedua raja tersebut, dan dihadiri oleh keempat menteri, Imbang Jayo mendakwa bahwa seorang anggota keluarga kerajaan telah mempermalukan dirinya, sebuah pelanggaran yang tak termaafkan. Namun raja-raja tersebut bertanya: siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa bukti dakwaan Imbang Jayo? Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup bukan soal main-main. Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo dihukum mati.

Begitu mengetahui anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo, ayah Imbang Jayo, Tiang Bungkuak, bersiap-siap membalas dendam. Cindua Mato kembali dari Inderapura, dan Dang Tuanku memerintahkannya melawan Tiang Bungkuak. Namun bila Cindua Mato gagal membunuhnya, dia harus bersedia menjadi hamba Tiang Bungkuak, agar Istana Pagaruyung terlepas dari ancaman.

Pada suatu malam, saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang Tuanku bermimpi bertemu seorang malaikat dari langit yang berkata dia, Bundo Kanduang dan Puti Bungsu sudah waktunya meninggalkan dunia yang penuh dosa ini. Pagi harinya Dang Tuanku mengisahkan mimpinya pada Bundo Kanduang dan Basa Ampek Balai. Mengetahui waktu mereka sudah dekat, mereka mengangkat Cindua Mato sebagai Raja Muda.

Cindua Mato menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun dalam duel yang berlangsung dia tak mampu membunuh Tiang Bungkuak. Cindua Mato lalu menyerah pada kesatria tua itu, dan mengikutinya ke Sungai Ngiang sebagai budak. Pada saat yang sama sebuah kapal terlihat melayang di udara membawa Dang Tuanku dan anggota keluarga kerajaan lainnya ke langit.

Suatu hari, ketika Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua Mato membaca jampi-jampi dan berhasil mengungkap rahasia kekebalan Tiang Bungkuak dari mulutnya sendiri. Ternyata Tiang Bungkuak hanya dapat dibunuh menggunakan keris bungkuk (karih bungkuak) yang disembunyikan di bawah tiang utama rumahnya. Cindua Mato mencuri keris itu lalu memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya. Dalam duel tersebut Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dengan keris curiannya.

Setelah kematian Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang mengangkat Cindua Mato menjadi raja. Kemudian dia juga diangkat sebagai raja Sikalawi, setelah Rajo Mudo turun tahta. Cindua Mato menikahi adik Puti Bungsu, Puti Reno Bulan. Dari hasil pernikahannya ini Cindua Mato memperoleh anak perempuan dan laki-laki yang diberi nama Sutan Lembang Alam.

Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua Mato kembali ke Pagaruyung, untuk memerintah sebagai Raja Minangkabau. Dari perkimpoiannya dengan Puti Lenggo Geni ia mendapatkan anak bernama Sutan Lenggang Alam.

Courtesy : Desna
Selengkapnya...

Cerita Keong Mas… (terjemahan dari bahasa Inggris)

Alkisah ada seorang pangeran bernama Raden Putra yang menikah dengan seorang puteri bernama Dewi Limaran. Suatu hari ketika Dewi Limaran sedang berjalan-jalan di taman istana, dia melihat seekor keong diantara bunga-bunganya yang cantik. Kemudian dia meminta salah seorang pelayannya untuk mengambil keong itu dan melemparnya jauh-jauh. Sebenarnya, keong tersebut adalah seorang penyihir tua yang sedang menyamar menjadi keong. Dia marah sekali dan mengutuk sang Dewi Limaran sehingga berubahlah dia menjadi seekor keong emas dan dilempar ke sungai. Arus sungai membawanya jauh dari istana.


Prince Raden Putra was married to a princess named Dewi Limaran. One day when Dewi Limaran was walking in the palace garden, she saw a snail among her lovely flowers and she had one of her servants pick it up and throw it away. The Snail was actually an old witch who had disguised herself as a snail. The witch was very angry, so she cursed Dewi Limaran and changed her into a golden snail and threw it into the river. The stream carried it far away from the palace.

Di tepi hutan yang lebat, tinggallah seorang janda. Pekerjaannya hanyalah mencari ikan. Hari itu adalah hari yang kurang menguntungkan baginya karena dia tidak dapat menangkap seekor ikanpun. Dicobanya beberapa kali dia menebar jalanya tanpa hasil, sampai akhirnya diapun memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya. Tiba-tiba dia melihat sesuatu berkilauan di bagian bawah jaringnya. Rupanya hanya seekor keong. Namun kemudian diapun memungutnya dan membawanya pulang. Kulit keong yang keemasan belum pernah dilihat olah janda tersebut.

On the side of a big forest, there lived a poor widow. Her living was only fishing. One day it was a particularly bad day as she didn’t catch any fish. Again and again she spread her net, but nothing got caught into it. At last she pulled up the net to go home. Suddenly she saw something shining at the bottom of it. It was only a snail. Nevertheless she picked it up and took it home. Its shell shone like gold the old woman had never seen such a snail before.

Dia menaruh keong tersebut di wadah terbuat dari tanah. Karena lelahnya dia cepat terlelap seketika masuk ke kamarnya. Ketika bangun keesokan harinya, di terheran-heran ketika mendapati lantainya sudah disapu bersih dan makanan sudah terhidang di meja. Dia penasaran akan siapa yang mengerjakan itu semua, sampai-sampai dikiranya dia sedang bermimpi. Dipikir-pikirnya, dia tetap tidak dapat menemukan siapa yang berbaik hati mengerjakan itu semua baginya.

At home she put it in an earthen pot. She then went to bed and soon was fast asleep as she was very tired. The next morning when she woke up, she found to her amazement that the floor had been swept clean and there was some food on the table. She wondered who had done all this. She thought she was dreaming, but she was not. She thought and thought but could not think of anybody who could have been so generous to her.

Beberapa hari kemudian…. dia menemukan sebuah ide. Satu pagi dia mengambil keranjangnya dan seolah-olah akan pergi keluar, tapi dia segera memutar dan bersembunyi. Tiba-tiba dia mendengar suara gerakan yang lembut dari dalam wadah tanahnya itu dan dia menyaksikan keong merangkak keluar dari wadah tersebut. Semakin lama keong tersebut semakin besar dan membesar terus dan seketika seorang gadis cantik berdiri di tempat keong tersebut, sementara cangkangnya jatuh ke tanah di belakangnya. Segera sang adis menyapu lantai, kemudian memasak nasi, sayuran, daging, telur, dan lain-lain.

Some days passed….…..she then got an idea. The next morning she took her basket and went out as usual, but shortly she returned to her hut and hid herself. Suddenly she heard a soft movement inside the earthen pot and saw the snail creeping out of it. It grew bigger and bigger and in a moment a lovely young girl stood where the snail had been. The empty shell fell to the ground behind her. Quickly the young girl swept the floor. Then she took rice, vegetables, meat, eggs etc. out of the pot and began cooking.


Ketika si janda menyaksikan semua itu, dia menyadari bahwa yang dia tangkap bukan sembarang keong, melainkan orang yang terkena kutukan, dan dia memutuskan untuk menghentikan kutukan itu.

When the old woman saw all this, she noticed that it was not an ordinary snail she had caught, but a person who lived under a spell, and she knew what she had to do to break it.

Diam-diam dia mengambil cangkang keong tersebut, dan bersegera membuangnya ke sungai. Akhirnya dia telah sebagian kutukan, dan sisanya akan diusahakan terlepas sesudah dia menemui suaminya.

She crept stealthily to the empty shell, took it, and then rushed out of the hut to throw it into the river. Now she had broken only a part of the spell, and the rest of it must still be broken before she could return to her husband.

Sang gadispun akhirnya memperkenalkan diri kepada sang ibu.

The young girl then made herself known to the old woman.

“Saya akan berdoa kepada tuhan semoga menuntun seorang pangeran ke tempat ini” kata si ibu.

“I shall pray to the gods that the prince might be led to his place,” said the old woman.

Beberapa tahun berlalu…

Many years passed by…….

Sang raja menganjurkan anaknya mencari permaisuri, walau pada awalnya sang pangeran, Raden Putra menolak karena dia belum bisa melupakan istrinya, namun pada akhirnya sang pangeran menyatakan bersedia mengambil seorang istri tetapi harus mirip dengan istrinya yang terdahulu. Seorang pelayan setia yang sudah tua menemani perjalanannya…

The king persuaded his son to look for another bride, but at first Prince Raden Putra refused as he could not forsake his wife. In the end, however, the prince asked his father if he could go out to find a bride, but one who was a look-alike of his former wife. An old faithful servant accompanied him on his trip.

Kota demi kota, desa demi desa didatangai sampai suatu hari mereka memasuki hutan lebat dan tersesat. Akhirnya mereka tiba di satu sungai. Tidak jauh dari tempat tersebut, dia menemukan sebuah tempat. Mereka memasuki rumah itu dan meminta makanan dan minuman karena mereka sangat lapar, haus, dan lelah. Si ibu menyambut mereka dengan hangat. Raden Putra melihat masakan yang dihidangkan si ibu begitu sempurna. Sang ibu bercerita bahwa yang mempersiapkan hidangan itu adalah putrinya. Raden Putra bertanya apakah dia bisa bertemu dan berterima kasih kepada putrinya itu. Sang ibupun memanggil putrinya. Sang gadis menampakkan diri dan berbungkuk di hadapan Raden Putra dengan kepala tertunduk.

They went from town to town and from village to village until one day were travelling through a big forest and they lost their way. Finally the men came to a big river and not far from it they saw a hut. They went to it to ask for some food and drink as they were hungry, thirsty and dead tired. The old woman welcomed them warmly. Raden Putra found the meal served by the old woman excellent. She told him that her daughter had prepared it. Raden Putra then asked whether he might meet and thank her daughter. The old woman had no objections and called her daughter to come out. The young girl appeared and knelt down in front of Raden Putra with her head bent.

Ketika Raden Putra melihat sang gadis, dia sangat terkejut karena dia terlihat begitu mirip dengan istrinya, Dewi Limaran. ” Kamu adalah calon istri yang saya sedang cari” dia teriak. Tapi sang gadis menggelengkan kepala dan mengatakan bahwa dia sudah membuat janji: jika ada seorang lelaki ingin menikahinya, dia harus mendatangkan perangkat gamelan jawa dari surga yang bisa memainkan musik tanpa disentuh/dimainkan.

When Raden Putra saw her, he caught his breath in great surprise as the young girl looked exactly like his former wife princess Dewi Limaran. “You are the bride I’m looking for!” he cried out. But the girl shook her head and said that she had made a promise : when a man wanted to marry her, he had to obtain the holy gamelan ( Javanese orchestra) from heaven which could make music without being touched.

Rade Putra bersedia mencobanya, dan diapun pergi ke hutan. Kemudian dia berpuasa dan bersemedi. Setelah beberapa ratus hari, doanya dikabulkan.

Raden Putra was willing to try and went out into the forest. He then fasted and meditated. After a hundred days the gods heard and granted his wish.

Di hari pernikahannya, gamelan tersebut memainkan lagu-lagu sendiri begitu indahnya sehingga setiap orang yang mendengarnya kemudian merasa sangat bahagia.

On their wedding day the holy gamelan played its heavenly music. It was so beautiful that every person who heard it felt happier than ever.

Sang gadispun akhirnya mengungkapkan rahasianya, bahwa dia sebenarnya adalah Dewi Limaran. Musik dari gamelan sudah berhasil mematahkan kutukan si penyihir jahat atas dirinya.

The young girl than revealed her secret, that she was Dewi Limaran herself. The music of the gamelan had broken the evil witch’s spell.

Sang ibu tua kemudian diajak serta tinggal di istana. Akhirnya dia mendapatkan yang diinginkannya dan hidup bahagia…

The old woman had been invited to remain in the place. Now she had everything she wanted and sorrow had left her forever.
Selengkapnya...

Legenda Sangkuriang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sangkuriang adalah legenda yang berasal dari Tatar Sunda. Legenda tersebut berkisah tentang penciptaan danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukit Tunggul.

Dari legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.


Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskha tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15.

Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini beserta legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:

Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)

Ringkasan Cerita

Berdasarkan legenda tersebut, diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.

Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk mengejar babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka.

Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah TIMUR akhirnya sampailah di arah BARAT lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.

Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai unga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).

Kesesuaian dengan fakta geologi

Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya danau Bandung dan Gunung Tangkuban Parahu.[1]

Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16000 tahun yang lalu.

Telah terjadi dua letusan Gunung Sunda purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105000 dan 55000-50000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang (disebut juga Gunung Sunda), dan Gunung Bukit Tunggul.

Adalah sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat sungai Citarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55000-50000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya homo sapiens; mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50000 tahun yang lalu.

Sangkuriang dan Falsafah Sunda

Menurut abah Surya atau abah Hidayat Suryalaga, mantan Rektor Itenas Bandung, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang mempengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada ahirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).

Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).

Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).

Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).

Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat. (Sanghyang Tikoro = kerongkongan, genggerong).

Catatan Kaki

^ Koesoemadinata, R. The Origin and Pre-history of the Sundanese. Institute of Technology Bandung.

Rujukan

Koesoemadinata, R. P., “Asal Usul dan Prasejarah Ki Sunda”, Sub theme” “Bidang Kajian Sejarah, Arkeologi dan filologi”, in Ajip Rosidi et.al (editor: Edi S.Ekadjati and A.Chaedar Alwasilah)
Hidayat Suryalaga, Kajian Hermeneutika terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspeknya, Hidayat Suryalaga, Orasi Ilmiah ketika Hari Wisuda Mahasiswa ITENAS, Bandung, 28 Mei 2005.
Selengkapnya...

Asal Mula Kota Cianjur

Cerita dari Tanah Pasundan, Jawa Barat

Konon, di suatu daerah di Jawa Barat, sekitar daerah Cianjur, hiduplah seorang lelaki yang kaya raya. Kekayaannya meliputi seluruh sawah dan ladang yang ada di desanya. Penduduk hanya menjadi buruh tani yang menggarap sawah dan ladang lelaki kaya tersebut. Sayang, dengan kekayaannya, lelaki tersebut menjadi orang yang sangat susah menolong, tidak mau memberi barang sedikitpun, sehingga warga sekelilingnya memanggilnya dengan sebutan Pak Kikir. Sedemikian kikirnya, bahkan terhadap anak lelakinya sekalipun.


Di luar sepengetahuan ayahnya, anak Pak Kikir yang berperangai baik hati sering menolong orang yang membutuhkan pertolongannya.

Salah satu kebiasaan di daerah tersebut adalah mengadakan pesta syukuran, dengan harapan bahwa panen di musim berikutnya akan menjadi lebih baik dari panen sebelumnya. Karena ketakutan semata, Pak Kikir mengadakan pesta dengan mengundang para tetangganya. Tetangga Pak Kikir yang diundang berharap akan mendapat jamuan makan dan minum yang menyenangkan. Akan tetapi mereka hanya bisa mengelus dada manakala jamuan yang disediakan Pak Kikir hanya ala kadarnya saja, dengan jumlah yang tidak mencukupi sehingga banyak undangan yang tidak dapat menikmati jamuan. Diantara mereka ada yang mengeluh,”Mengundang tamu datang ke pesta, tapi jamuannya tidak mencukupi! sungguh kikir orang itu”. Bahkan ada yang mendoakan yang tidak baik kepada Pak Kikir karena kekikirannya tersebut.

Di tengah-tengah pesta, datanglah seorang nenek tua renta, yang langsung meminta sedekah kepada Pak Kikir. “Tuan, berilah saya sedekah dari harta tuan yang berlimpah ini”, kata sang nenek dengan terbata-bata. Bukannya memberi, Pak Kikir malah menghardik nenek tersebut dengan ucapan yang menyakitkan hati, bahkan mengusirnya.

Dengan menahan sakit hati yang sangat mendalam, nenek tersebut akhirnya meninggalkan tempat pesta yang diadakan Pak Kikir. Sementara itu, karena tidak tega menyaksikan kelakuan ayahnya, anak Pak Kikir mengambil makanan dan membungkusnya. Kemudian dengan sembunyi-sembunyi dia mengikuti si nenek tersebut hingga di ujung desa. Makanan tersebut diserahkannya kepada sang nenek.

Mendapatkan makanan yang sedemikian diharapkannya, sang nenekpun memakannya dengan lahap. Selesai makan, dia mengucapkan terima kasih dan mendoakan anak Pak Kikir agar menjadi orang yang hidup dengan kemuliaan. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya hingga tibalah di salahsatu bukit yang dekat dengan desa tersebut.

Dari atas bukit, dia menyaksikan satu-satunya rumah yang paling besar dan megah adalah rumah Pak Kikir. Mengingat apa yang dialaminya sebelumnya, maka kemarahan sang nenek kembali muncul, sekali lagi dia mengucapkan doa agar Pak Kikir yang serakah dan kikir itu mendapat balasan yang setimpal. Kemudian dia menancapkan tongkat yang sejak tadi dibawanya, ke tanah tempat dia berdiri, kemudian dicabutnya lagi tongkat tersebut. Aneh bin ajaib, dari tempat ditancapkannya tongkat tersbut kemudian mencarlah air yang semakin lama semakin besar dan banyak, dan mengalir tepat ke arah desa Pak Kikir.

Menyaksikan datangnya air yang seperti air bah, beberapa warga desa yang kebetulan berada dekat dengan bukitpun berteriak saling bersahutan mengingatkan warga desa, “banjir!!!”

Penduduk desa kemudian menjadi panik, dan saling berserabutan ke sana ke mari. Ada yang segera mengambil harta yang dimilikinya, ada yang segera mencari dan mengajak sanak keluarganya untuk mengamankan diri. Melihat kepanikan tersebut, anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk untuk segera meninggalkan rumah mereka. “Cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman” katanya memerintahkan. Dia menyuruh warga untuk meninggalkan segala harta sawah dan ternak mereka untuk lebih mengutamakan keselamatan jiwa masing-masing.

Sementara itu, Pak Kikir yang sangat menyayangi hartanya tidak mau begitu saja pergi ke bukit sebagaimana anjuran anaknya. Di berpikir bahwa apa yang dimilikinya bisa menyelematkannya. Dia tidak mau diajak pergi, walau air semakin naik dan menenggelamkan segala apa yang ada di desa tersebut. Ajakan anaknya untuk segera pergi dibalas dengan bentakan dan makian yang sungguh tidak enak didengar. Akhirnya anak Pak Kikir meninggalkan ayahnya yang sudah tidak bisa dibujuk lagi.

Warga yang selamat sungguh bersedih meliaht desanya yang hilang bak ditelan air banjir. Tetapi mereka bersyukur karena masih selamat. Kemudian bersama-sama mereka mencari tempat tinggal baru yang aman. Atas jasa-jasanya, anak Pak Kikirpun diangkat menjadi pemimpin mereka yang baru.

Dengan dipimpin pemimpin barunya, warga bersepakat untuk membagi tanah di daerah baru tersebut untuk digarap masing-masing. Anak Pak Kikirpun mengajarkan mereka menanam padi dan bagaimana caranya menggarap sawah yang kemudian dijadikan sawah tersebut. Warga selalu menuruti anjuran pemimpin mereka, sehingga daerah ini kemudian dinamakan Desa Anjuran.

Desa yang kemudian berkembang menjadi kota kecil inipun kemudian dikenal sebagai Kota Cianjur.
Selengkapnya...

Beginde Lubuk Gong

Beginde Lubuk Gong adalah seorang Kepala Desa di daerah Sumatera Selatan, Indonesia. Beginde dalam bahasa setempat berarti kepala desa. Beginde Lubuk Gong mempunyai seorang putrid yang cantik jelita bernama Putri Lubuk Gong. Suatu ketika, putrinya dibunuh oleh seorang putra Beginde dari desa lain. Mengapa putrid Beginde Lubuk Gong dibunuh? Ikuti kisahnya dalam cerita Beginde Lubuk Gong berikut ini……


Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Sumatera Utara, ada seorang Beginde (kepala desa) yang kaya raya bernama Beginde Lubuk Gong. Ia sangat ketat menjalankan adat dan tidak segan-segan memberikan hukuman kepada warganya yang melanggar adat tersebut. Meski demikian, rakyatnya merasa tidak terbebani dengan hal itu. Justru dengan aturan adat itu, rakyatnya dapat hidup dan makmur.

Beginde Lubuk Gong mempunyai anak gadis yang cantik dan cerdas bernama Putri Lubuk Gong. Kecantikan dan keelokan perangainya senantiasa mengundang decak kagum setiap pemuda yang melihatnya. Tak heran banyak pemuda dari desa-desa lain datang melamarnya. Namun, Beginde Lubuk Gong selalu menolak setiap lamaran yang datang, karena belum satu pun pelamar yang mampu memenuhi persyaratan yang diajukannya.

Pada suatu hari, datanglah utusan putra seorang Beginde dari sebuah desa hendak melamar Putri Lubuk Gong. Lamaran itu mereka sampaikan langsung kepada Beginde Lubuk Gong.

“Maaf, Tuan! Maksud kedatangan kami kemari adalah ingin menyampaikan lamaran putra Beginde kami,” ungkap juru bicara utusan itu.

“Ketahuilah, wahai utusan! Sudah banyak utusan yang datang kemari, tapi belum ada yang sanggup memenuhi persyaratanku,” kata Beginde Lubuk Gong.

“Kalau boleh kami tahu, apakah persyaratan Tuan itu?” tanya ketua utusan itu.

“Pakaian tujuh pasang, baju kain salinan 42 lusin, itik dan ayam sekandang penuh, merpati seraban(1), kayu bakar setinggi bukit, batang tujuh buah, dan serai kunyit seladang lebar,” jawab Beginde Lubuk Gong.

“Bagaimana? Apakah kalian sanggup memenuhi syarat tersebut?” Beginde Lubuk Gong balik bertanya kepada utusan itu.

“Sesuai dengan pesan Beginde kami, sebesar apapun permintaan yang Tuan ajukan, Beginde kami akan menyanggupinya,” jawab utusan itu.

“Baiklah kalau begitu, lamaran kalian aku terima,’ kata Beginde Lubuk Gong.

“Terima kasih, Tuan! Berita gembira ini akan kami sampaikan kepada Beginde kami.” Kata ketua utusan itu.

Setelah mendapat persetujuan dari Beginde Lubuk Gong, para utusan Beginde kembali ke desanya untuk menyampaikan berita gembira itu kepada Beginde mereka. Alangkah sebang hati Beginde mendengar berita gembira itu. Ia pun memerintahkan kepada seluruh warganya untuk mengumpulkan barang-barang bawaan sesuai dengan permintaan Beginde Lubuk Gong. Sudah berminggu-minggu mereka bekerja keras, namun hingga pada hari yang telah ditentukan barang-barang bawaan yang mereka kumpulkan belum memenuhi permintaan Beginde Lubuk Gong.

Sementara itu di tempat lain, Beginde Lubuk Gong bersama keluarga dan warganya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan rombongan dari pihak pelamar yang akan mengantarkan barang-barang bawaan. Sudah sehari penuh mereka menunggu, namun belum ada tanda-tanda kedatangan rombongan tersebut. Pada hari-hari berikutnya, Beginde Lubuk Gong terus menunggu kedatangan rombongan tersebut, namun mereka tak kunjung datang.

Hari, pekan, dan bulan, bahkan tahun telah berlalu, rombongan dari pihak pelamar belum juga datang. Pada awal tahun ketiga barulah mereka datang dengan arak-arakan laki-laki dan perempuan yang memikul dan menjunjung barang bawaan. Beginde Lubuk Gong pun menyambut kedatangan mereka secara sederhana. Ia pun segera menerima dan memeriksa barang-barang bawaan dan ternyata semuanya lengkap dan sesuai dengan permintaannya. Hatinya pun sangat senang dan terpukau karena semua permintaannya terpenuhi. Namun satu hal yang membuat hatinya kecewa, karena keterlambatan para utusan mengantar barang-barang bawaan tersebut.

“Kalau boleh aku tahu, mengapa kalian terlambat mengantarkan barang-barang bawaan ini kemari, sehingga kami harus menunggu selama dua tahun?” tanya Beginde Lubuk Gong.

“Maafkan kami atas keterlambatan ini, Tuan! Untuk memenuhi seluruh permintaan Tuan, ternyata kami memerlukan waktu yang cukup lama. Sudilah Tuan memakluminya dan menerima barang-barang bawaan ini,” jawab ketua rombongan itu.

Mulanya Beginde Lubuk Gong ingin marah dan membatalkan pertunangan putrinya dengan putra Beginde. Namun setelah mendengar penjelasan dari ketua rombongan tersebut, akhirnya ia memakluminya.

“Baiklah, barang-barang bawaan ini aku terima. Sekarang tinggal menunggu hari baik untuk melangsungkan pernikahan putriku dengan putra Beginde kalian. Pesta pernikahan ini akan dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Untuk itu, aku harus mempersiapkan segala keperluan pesta besar ini,’ ungkap Beginde Lubuk Gong.

Keesokan harinya, Beginde Lubuk Gong mengumumkan kepada seluruh rakyatnya bahwa dia akan segera menikahkan putrinya. Rakyatnya pun sangat senang karena aka nada pesta besar selama tujuh hari tujuh malam. Mereka pun segera mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut pernikahan Putri Beginde. Mereka mulai menghias jalan-jalan dan rumah Beginde Lubuk Gong.

Untuk memenuhi kebutuhan pesta besar itu, Beginde Lubuk Gong harus pergi ke negeri lain untuk berbelanja. Ia berangkat bersama para pembantunya dengan menggunakan rejung(2). Karena begitu banyak barang yang harus dibeli, sehingga sebulan lamanya Beginde Lubuk Gong belum juga kembali.

Putra Beginde, calon mempelai laki-laki, tidak sabar lagi menunggu hari pernikahannya. Pada suatu hari, ia mendengar desas-desus bahwa putri Beginde Lubuk Gong telah dipersunting oleh putra raja negeri yang didatangi oleh Beginde Lubuk Gong. Ia pun percaya begitu saja pada desas-desus tersebut, tanpa terlebih dahulu menyelidiki kebenarannya.

“Barangkali kabar ini ada benarnya. Sudah sebulan Beginde pergi ke negeri itu, tapi belum juga kembali. Padahal ia memiliki kesaktian yang tinggi, dalam waktu sekejap saja ia dapat berlayar ke negeri sejauh mana pun,” pikirnya.

Semakin hari desas-desus tersebut semakin memekakkan telinga Putra Beginde. Ia mendengar kabar bahwa utusan raja yang akan melamar Putri Lubuk Gong telah tiba di Dusun Kertajaya, tidak jauh dari desa tempat tinggal Putri Lubuk Gong. Hati Putra Beginde pun semakin kesal sehingga timbul niatnya untuk membunuh calon istrinya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera menuju ke rumah Beginde Lubuk Gong dengan membawa sebuah pedang panjang.

Sementara itu, Putri Lubuk Gong yang mengetahui kedatangan Tunangannya merasa sangat gembira dan segera bersolek dengan hiasan yang menawan. Ia mengira bahwa kedatangan tunangannya itu untuk bersilaturahmi. Alangkah terkejutnya ia ketika hendak menemuinya di ruang tamu rumahnya, ia melihat calon suaminya itu sedang menggemga sebuah pedang dengan wajah yang beringas. Tanpa diduganya, tiba-tiba sang tunangan menebas lehernya. Putrid Lubuk Gong pun tewas seketika. Ibu Putri Beginde Lubuk Gong yang melihat kejadian itu langsung menjerit dan bertanya kepada calon menantunya itu.

“Hai, kenapa kamu membunuh calon istrimu? Apa salahnya? Padahal ia sangat mengharapkan kedatanganmu,” kata ibu Putri Lubuk Gong.

“Tidak usah banyak dalih! Kalian telah memperdayaiku. Utusan raja yang akan melamar Putri Lubuk Gong telah tiba di Dusun Kertajaya. Beginde Lubuk Gong telah membuat janji untuk menikahkan Putri Lubuk Gong dengan raja itu!” seru Putra Beginde, calon suami Putri Lubuk Gong.

Ibu Putri Lubuk Gong berusaha menjelaskan kepada calon menantunya bahwa desa-desus tersebut hanyalah fitnah. Namun, calon menantunya tidak mau menerima alasan apapun. Ibu Putri Lubuk Gong pun tidak bias berbuat apa-apa, kecuali menangisi kematian putrid semata wayangnya. Sementara Putra Beginde itu segera pergi meniggalkan rumah itu. Tak berapa lama kemudian, warga pun berdatangan ke rumah Beginde Lubuk Gong karena mendengar ada suara tangisan histeris. Mereka sangat terkejut ketika melihat Putri Lubuk Gong tergeletak bersimbah darah.

“Apa yang terjadi dengan Putri Lubuk Gong?” tanya seorang warga kepada ibu Putri Lubuk Gong.

Ibu Putri Lubuk Gong pun menceritakan semua kejadian yang menimpa putrinya. Setelah mendengar cerita itu, salah seorang warga segera menyampaikan berita duka itu kepada Beginde Lubuk Gong yang masih berada di negeri lain. Dengan kesaktiannya, Beginde Lubuk Gong memerintahkan angin berhembus, sehingga dalam sekejap rejungnya tiba di pelabuhan negerinya. Sesampainya di rumah, ia bersama warga desa segera mengebumikan putrinya. Setelah kejadian itu, ia memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap calon menantunya itu.

“Segera tangkap pembunuh itu dan bawa dia kemari hidup-hidup!” seru Beginde Lubuk Gong.

Mendengar perintah itu, para pengawal itu segera mencari Putra Beginde. Tak beberapa lama kemudian, mereka pun kembali membawa Putra Beginde dengan tangan terikat.

“Hai, Putra Beginde! Kamu telah membunuh putriku. Kamu harus mengganti nyawa Putriku. Mulai detik ini, kamu tidak boleh lagi kembali ke rumahmu dan harus tinggal di sini sebagai ganti putriku!” seru Beginde Lubuk Gong.

Keesokan harinya, Beginde Lubuk Gong membuang segala barang persiapan pernikahan putrinya ke dalam sungai, termasuk barang-barang bawaan Putra Beginde.

Sekian…….


(1) Seraban artinya sebanyak arak-arakan awan di langit.
(2) Rejung artinya kapal besar
Selengkapnya...

Asal Mula Nama Palembang

Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Batanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara.


Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.

Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.

Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari tempat lain.

Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.

Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.

Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang kemudian berubah menjadi penduduk Melayu.

Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering me*ngatakan akan ke Lembang. Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.

Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu adalah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.

Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu.

Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur perdagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun berubah menjadi Palembang

Penulis: M.B. Iman Santoso.
Selengkapnya...